Rabu, 05 Juli 2017

MAKALAH ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI KASUS MENGENAI CAP KAKI TIGA VS CAP BADAK



MAKALAH ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI
KASUS MENGENAI CAP KAKI TIGA VS CAP BADAK




KELOMPOK 5

DISUSUN OLEH :       1. ASA RIZKI IRAWAN (21215078)
                                      2. ENY LESTARI M (27215584)
                                      3. LAILA ANGGRAINI (23215771)
                                      4. RIZKI MUSTIKA S P (26215152)
                                       5. SRI MEGA WULANDARI (26215670)
                                      6. FACHTUR RACHMANSYAH (22215336)
                                      6. RUMASTI N SORMIN (2B216855)





FAKULTAS EKONOMI
JURUSAN AKUNTANSI S1
UNIVERSITAS GUNADARMA
DEPOK, 2017

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.

Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
















BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Setiap ide-ide yang cemerlang dan kreatif  yang  tercipta dari seseorang atau sekelompok orang sebagai bentuk dari kemampuan intelektual manusia  yang berguna dan memberi dampak baik dari berbagai aspek perlu di akui dan perlu dilindungi, agar ide-ide cemerlang dan kreatif yang telah diciptakan tidak diklaim atau di bajak oleh pihak lain. Untuk itu diperlukan wadah yang dapat membantu dan menaungi ide-ide cemerlang dan kreatif tersebut. Untuk tingkat internasional organisasi yang mewadahi bidang HaKI (Hak atas Kekayaan Intelektual) adalah WIPO (World Intellectual Property Organization).
Di Indonesia sendiri untuk mendorong dan melindungi penciptaan, penyebarluasan hasil kebudayaan di bidang karya ilmu pengetahuan, seni, dan sastra serta mempercepat pertumbuhan kecerdasan kehidupan bangsa, maka dirasakan perlunya perlindungan hukum terhadap hak cipta. Perlindungan hukum tersebut dimaksudkan sebagai upaya untuk mewujudkan iklim yang lebih baik untuk tumbuh dan berkembangnya gairah mencipta di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra di tengah-tengah masyarakat Indonesia.
Di Indonesia, Undang-undang yang melindungi karya cipta adalah Undang-undang nomor 6 tahun 1982 tentang hak cipta, dan telah melalui beberapa perubahan dan telah diundangkan Undang-Undang yang terbaru yaitu Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang mulai berlaku 12 (dua belas) bulan sejak diundangkan. Tidak hanya karya cipta, invensi di bidang teknologi (hak paten) dan kreasi tentang penggabungan antara unsur bentuk, warna, garis (desain produk industri) serta tanda yang digunakan untuk kegiatan perdagangan dan jasa (merek) juga perlu diakui dan dilindungi dibawah perlindungan hukum. Dengan kata lain Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) perlu didokumentasikan agar kemungkinan dihasilkannya teknologi atau karya lainnya yang sama dapat dihindari atau dicegah.

RUMUSAN MASALAH
Untuk mengetahui apakah yang dimaksud dengan HAKI
Mengetahui yang apa yang dimaksud dengan Merek
Mengetahui contoh kasus dari citra merek yang pernah terjadi

TUJUAN
Untuk mengetahui  HAKI dan Hak merek secara ringkas
Untuk memenuhi tugas Aspek Hukum dalam Ekonomi

BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI)
Hak Kekayaan Intelektual (selanjutnya disebut HaKI) atau Hak Milik Intelektual adalah padanan kata yang biasa digunakan untuk Intellectual Property Rights (IPR) atau Geistiges Eigentum, dalam bahasa Jermannya. Istilah atau terminologi Hak Kekayaan Intelektual (HKI) digunakan untuk pertama kalinya pada tahun 1790. Adalah Fichte yang pada tahun 1793 mengatakan tentang hak milik dari si pencipta ada pada bukunya. Yang dimaksud dengan hak milik disini bukan buku sebagai benda, tetapi buku dalam pengertian isinya. HKI terdiri dari tiga kata kunci, yaitu Hak, Kekayaan, dan Intelektual.
Kalau dilihat secara historis, undang-undang mengenai HaKI pertama kali ada di Venice, Italia yang menyangkut masalah paten pada tahun 1470. Caxton, Galileo dan Guttenberg terctat sebagai penemu-penemu yang muncul dalam kurun waktu tersebut, dan mempunyai hak monopoli atas penemuan mereka.
Hukum-hukum tentang paten tersebut kemudian di adopsi oleh kerajaan Inggris di jaman TUDOR tahun 1500-an dan kemudian lahir hukum mengenai paten pertama di Inggris yaitu Statute of Monopolies (1623). Amerika Serikat baru mempunyai undang-undang paten tahun 1791. Upaya harmonisasi dalam bidang HaKI pertama kali terjadi tahun 1883 dengan lahirnya Paris Convention untuk masalah paten, merek dagang dan desain. Kemudian Berne Convention 1886 untuk masalah copyright atau hak cipta. Tujuan dari konvensi-konvensi tersebut antara lain standarisasi, pembahasan masalah baru, tukar menukar informasi, perlindungan minimum dan prosedur mendapatkan hak. Kedua konvensi itu kemudian membentuk biro administratif bernama the United International Bureau for the Protection of Intellectual Property yang kemudian di kenal dengan nama World Intellectual Property Organization (WIPO). WIPO kemudian menjadi bahan administratif khusus di bawah PBB yang menangani masalah HaKI anggota PBB. Sebagai tambahan pada tahun 2001 WIPO telah menetapkan tanggal 26 April sebagai Hari Hak Kekayaan Intelektual Sedunia.
Kekayaan merupakan abstraksi yang dapat dimiliki, dialihkan, dibeli, maupun dijual. Adapun kekayaan intelektual merupakan kekayaan atas segala hasil produksi kecerdasan daya pikir seperti teknologi, pengetahuan, seni, sastra, gubahan lagu, karya tulis, karikatur, dan lain-lain yang berguna untuk manusia. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa HaKI atau HKI adalah hak yang berasal dari hasil kegiatan kretif suatu kemampuan daya berpikir manusia yang mengepresikan kepada khalayak umum dalam berbagai bentuk, yang memiliki manfaat serta berguna dalam menunjang khidupan manusia, juga mempunyai nilai ekonomis yang melindungi karya-karya intelektual manusia tersebut.

Sistem HaKI merupakan hak privat (private rights). Seseorang bebas untuk mengajukan permohonan atau mendaftarkan karya intelektualnya atau tidak. Hak eklusif yang diberikan negara kepada individu pelaku HaKI (inventor, pencipta, pendesain dan sebagainya) tiada lain dimaksudkan sebagai penghargaan atas hasil karya (kreativitas) dan agar orang lain terangsang untuk dapat lebih lanjut mengembangkannya lagi, sehingga dengan sistem HKI tersebut kepentingan masyarakat ditentukan melalui mekanisme pasar.
Disamping itu sistem HKI menunjang diadakannya sistem dokumentasi yang baik atas segala bentuk kreativitas manusia sehingga kemungkinan dihasilkannya teknologi atau karya lainnya yang sama dapat dihindari atau dicegah. Dengan dukungan dokumentasi yang baik tersebut, diharapkan masyarakat dapat memanfaatkannya dengan maksimal untuk keperluan hidupnya atau mengembangkannya lebih lanjut untuk memberikan nilai tambah yang lebih tinggi lagi.
Apa yang dimaksud dengan Merek?
merupakan sesuatu yang tentunya tidak asing di telinga kita, karena merek menjadi salah satu pertimbangan penting ketika kita akan membeli suatu produk. Lalu, tahukah anda apa yang dimaksud dengan Merek tersebut?? Mari kita bahas dalam artikel ini.
Lamb (2001) berpendapat bahwa “Merek adalah suatu nama, istilah, simbol, desain atau gabungan keempatnya yang mengidentifikasikan produk para penjual dan membedakannya dari produk pesaing”(hlm.421).

Menurut Keller dalam Tjiptono (2005), “Merek adalah produk yang mampu memberikan dimensi tambahan yang secara unik membedakannya dari produk-produk lain yang dirancang untuk memuaskan kebutuhan serupa”(hlm.19). Perbedaan tersebut bisa bersifat rasional dan tangible(terkait dengan kinerja produk dari merek bersangkutan) maupun simbolik, emosional danintangible (berkenaan dengan representasi merek).
Sedangkan nama merek yaitu bagian dari merek yang dapat disebutkan, diucapkan termasuk huruf-huruf, kata-kata, dan angka-angka. Brand merupakan janji penjual untuk secara konsisten memberikan keistimewaan, manfaat, dan jasa tertentu pada pembeli. Merek-merek terbaik memberikan jaminan mutu.
Dari pengertian-pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa brand adalah suatu nama, istilah, simbol, tanda, desain, atau kombinasi dari semuanya yang digunakan untuk mengidentifikasikan produk dan membedakan produk perusahaan dengan produk pesaing.  
Menurut Keller dalam Tjiptono (2005), Merek bermanfaat bagi produsen, sebagai:
Sarana identifikasi untuk memudahkan proses penanganan atau pelacakan produk bagi perusahaan, terutama dalam pengorganisasian sediaan dan pencatatan akuntansi. 
Bentuk proteksi terhadap fitur atau aspek produk yang unik. Signal tingkat kualitas bagi para pelanggan yang puas, sehingga mereka bisa dengan mudah memilih dan membelinya lagi di lain waktu. 
Sarana menciptakan asosiasi dan makna unik yang membedakan produk dari para pesaing.
Sumber keunggulan kompetitif, terutama melalui perlindungan hukum, loyalitas pelanggan, dan citra unik yang terbentuk dalam benak konsumen. Sumber financial returns, terutama menyangkut pendapatan masa datang(hlm.20).
Menurut Kotler dalam Kismono (2001), merek dapat dibedakan menjadi tiga pengertian, yaitu:
Brand name adalah bagian dari merek yang bisa dilafalkan.  Brand mark adalah suatu simbol atau desain yang digunakan untuk memberikan identitas pada produk atau untuk membedakannnya dengan produk lain.
Trade character adalah brand mark yang mengambil bentuk fisik atau sifat manusia(hlm.335).
Merek (brand) merupakan salah satu faktor penting dalam kegiatan pemasaran, karena kegiatan memperkenalkan dan menawarkan produk barang dan atau jasa tidak terlepas dari merek yang dapat diandalkan. Merek juga merupakan pertimbangan-pertimbangan yang dilakukan oleh konsumen sebelum mengambil keputusan untuk membeli. Merek merupakan strategi jangka panjang yang memiliki nilai ekonomis bagi konsumen maupun bagi si pemilik merek.
Merek merupakan suatu tanda pembeda atas barang atau jasa dari suatu perusahaan dengan perusahaan lainnya. Sebagai tanda pembeda maka merek dalam satu klasifikasi barang atau jasa, tidak boleh memiliki persamaan antara satu dengan yang  lainnya. Merek atas barang lazim disebut sebagai merek dagang yaitu merek yang digunakan/ditempelkan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang, atau badan hukum.

Menurut Darmadi Durianto, dkk (2004) merek lebih dari sekedar jaminan kualitas karena di dalamnya tercakup enam pengertian yaitu:
Atribut produk, seperti halnya kualitas, gengsi, nilai jual kembali, desain, dan lain-lain.
Manfaat, meskipun merek membawa sejumlah atribut, namun konsumen sebenarnya membeli manfaat dari produk tersebut. Nilai, merek juga menyatakan sesuatu tentang nilai produsen.  Budaya, merek juga mencerminkan budaya tertentu.  
Kepribadian, seringkali produk tertentu menggunakan kepribadian orang yang terkenal untuk mendongkrak atau menopang merek produknya. Pemakai, merek menunjukkan jenis pemakai yang membeli atau menggunakan produk tersebut.

Menurut Shimp (2003), nama yang dipilih untuk suatu merek harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
Mempengaruhi kecepatan konsumen dalam menyadari suatu merek, Mempengaruhi citra merek, Memainkan peran penting dalam pembentukan ekuitas merek.
Apabila suatu perusahaan memperlakukan merek hanya sekedar nama, maka perusahaan tersebut tidak melihat tujuan merek yang sebenarnya. Tantangan dalam pemberian merek adalah mengembangkan satu set makna yang mendalam untuk merek tersebut. Dengan 4pengertian merek di atas, perusahaan harus dapat menentukan pada tingkat mana perusahaan akan menanamkan identitas merek.
Dalam kegiatan mempromosikansuatu merek, atribut merek saja tidak cukup. Pertama karena konsumen tidak akan tertarik pada atribut merek bila dibandingkan dengan manfaat merek, kedua pesaing dapat dengan mudah meniru atribut tersebut, dan yang ketiga atribut yang sekarang mungkin nanti di kemudian hari akan kurang bernilai, sehingga merugikan merek yang terlalu terikat pada atribut tersebut.

Menurut Freddy Rangkuti (2002), merek bila dilihat dari sudut pandang konsumen, akan mempermudah pembelian. Merek membantu meyakinkan konsumen bahwa mereka akan mendapatkan kualitas yang konsisten ketika mereka membeli produk tersebut.

Dari sisi produsen, merek dapat dipromosikan, karena merek dapat dengan mudah diketahui ketika diperlihatkan atau ditempatkan pada suatu display. Merek juga dipakai untuk mengurangi perbandingan harga, karena merek adalah salah satu faktor yang perlu dipertimbangkan dalam membandingkan dengan produk-produk sejenis yang berbeda.
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa merek adalah nama, terminologi, tanda, simbul atau desain atau kombinasi diantaranya, yang ditujukan untuk mendidentifikasi barang atau jasa dari satu penjual atau kelompok penjual dan untuk mebedakannya dari pesaing.
Istilah brand mempunyai pengertian yang luas, dan oleh Panitia Definisi dalam The American Marketing Association telah dirumuskan sebagai berikut:
1. Brand adalah suatu nama, istilah, simbol, atau desain (rancangan), atau kombinasinya yang dimaksudkan untuk memberi tanda pengenal barang atau jasa dari seorang penjual atau sekelompok penjual dan untuk membedakannya dari barang-barang yang dihasilkan pesaing.
2. Brand name terdiri atas kata-kata, huruf, dan/atau angka-angka yang dapat diucapkan.
3. Brand mark adalah bagian dari brand yang dinyatakan dalam bentuk simbol, desain, atau warna atau huruf tertentu.
4. Trade mark adalah brand yang dilindungi oleh undang-undang karena sudah didaftarkan pada pemerintah dan perusahaan mempunyai hak tunggal untuk menggunakannya. Jadi, trade markterdiri atas kata-kata, huruf atau angka-angka yang dapat diucapkan, termasuk juga brand mark.
Dalam praktik, masalah brand ini sering kita jumpai, misalnya pada mobil: HOLDEN adalahbrand name, sedangkan brand mark digambarkan dengan singa yang sedang memegang bola. Bilamana sebuah merk sudah didaftarkan pada pemerintah, biasanya dicantumkan pula kata-kata “trade mark” pada merk atau pada bagian lain dari pembungkusnya. Sering pula kita jumpai simbol r
kecil, singkatan dari registered (sudah terdaftar). Ini juga merupakan suatu tanda bahwa merk bersangkutan sudah didaftarkan pada pemerintah. 

CONTOH KASUS DARI CITRA MEREK YANG PERNAH TERJADI
Kasus merek kerap kali terjadi di Indonesia . Kasus-kasus tersebut bahkan ada yang menuai kontroversi dan ada yang masih saat ini tetap beredar di pasaran. Kali ini kami akan membahas salah satu contoh kasus merek yang beredar di pasaran
CONTOH KASUS DAN JALAN KELUAR YANG DIAMBIL
Sejak pertama kali diperkenalkan pada 1980-an, larutan penyegar produksi PT Sinde Budi Sentosa muncul sebagai pioner obat panas dalam di pasar Indonesia. Selama puluhan tahun, larutan penyegar yang terkenal dengan simbol badak ini mampu tumbuh dan berkembang hingga menjadi produk andalan Sinde.
Pada 1978, PT Sinde Budi Sentosa menerima lisensi untuk penggunaan merek dagang cap Kaki Tiga dari Wen Ken Drug Singapore. Namun, lantaran persyaratan yang diminta pemilik merek Kaki Tiga begitu berat, PT Sinde Budi Sentosa memutuskan memproduksi larutan penyegar cap Badak.

"Perubahan ini adalah non teknis, pemberi lisensi dari Singapura Wen Ken kepada Sinde Budi Sentosa memberatkan dari segi hukum dan lainnya. Maka manajemen Sinde Budi Sentosa mengambil keputusan ganti merek logo dari cap Kaki Tiga menjadi cap Badak," kata Presiden Direktur perusahaan tersebut, Budi Yuwono, dalam tayangan Usaha Anda, Sabtu (23/7).

PT Sinde Budi Sentosa merupakan perusahaan farmasi yang memproduksi dengan fasilitas modern seusai dengan standar Good Manufacturing Practice. Sinde juga telah mendapat pengakuan dari Majelis Ulama Indonesia dengan dikeluarkannya sertifikat halal pada 2007.
"Semua produk yang mendapat sertifikat halal sudah sesuai standar SOP. Artinya kalau Sinde sudah mendapat sertifikat halal sudah jelas layak untuk dikonsumsi karena dia pun mendapat izin dari badan POM untuk izin edar," ujar Wakil Direktur Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika MUI Usmena Gunawan. Kinocare Pemegang Lisensi Baru Cap Kaki Tiga Liputan6.com, Jakarta: Larutan Penyegar Cap Kaki Tiga sudah dipercaya masyarakat Indonesia selama lebih dari 30 tahun. Pionir di industri larutan penyegar ini merupakan produk dari perusahaan farmasi Wen Ken Drugs.
"Wen Ken Drugs adalah perusahaan farmasi pemilik merek Larutan Penyegar Cap Kaki Tiga. Diproduksi sejak tahun 1937, Larutan Penyegar Cap Kaki Tiga telah hadir selama 74 tahun dan 30 tahun menemani masyarakat Indonesia," tutur Direktur Wen Ken Drug Fu Siang Jin di tayangan Usaha Anda SCTV, Sabtu (10/9).
Seiring berjalannya waktu, Indonesia dipercaya untuk terus memasarkan Larutan Penyegar Cap Kaki Tiga. Lisensi produk diserahkan dari Wen Ken Drugs ke Kino Group, yang telah memperoleh izin Badan Pengawas Obat dan Makanan.
"Saat ini di Indonesia yang ditunjuk sebagai pemegang lisensi Merek Cap Kaki Tiga untuk produk Larutan Penyegar dengan etiket merek yang menggunakan Karakter Badak Bercula adalah Kino Group," tutur Gunawan Widjaja, kuasa hukum Wen Ken Drug. "Kami akan selalu menjaga kerahasiaan dan keabsahan formulasi dari Wen Ken Drugs. Perusahaan lain belum tentu bisa memiliki keistimewaan ini," papar CEO PT. Kinocare Era Kosmetindo Harry Sanusi.
"Pabrik kami telah memiliki sertifikasi CPOTB, menjalankan GMP, memiliki sertifikasi ISO 9000 versi 2008 dari standar ISO SGS. Untuk produk Larutan Penyegar Cap Kaki Tiga, kami telah memiliki sertifikasi halal dari MUI," ujar Kepala Pabrik PT Kinocare Era Kosmetindo Joko Guntoro.

Jangan sampai salah membedakan Larutan Penyegar Cap Kaki Tiga yang asli dengan yang palsu. Produk asli memiliki logo Cap Kaki Tiga, tulisan merek Cap Kaki Tiga, dan gambar badak. Ingat larutan penyegar, ya Cap Kaki Tiga, tidak ada yang lain.(WIL/ULF) Larutan Cap Kaki Tiga Tidak Berganti Nama Jadi Cap Badak.
Jakarta (GNI),- Bertempat Di Hotel Niko Jakarta -Pusat Selasa 13 September 2011 Pemilik Merek Larutan Penyegar Cap KAKI TIGA Wen Ken Drugs Pte Ltd (WKD ) asal singapura ,telah memberi Lisensi kepada PT Kinocare Era Kosmetindo (Kino) untuk memproduksi larutan penyegar Cap KAKI TIGA di Indonesia sesuai dengan merek aslinya dan tidak berganti nama menjadi Cap BADAK, pernyataan ini disampaikan saat menggelar jumpa pers kemarin.

Lisensi dari WKD tersebut diberikan kepada Kino pada tanggal 28 April 2011 dan memberikan kewenangan kepada Kino untuk memproduksi, menjual, memasarkan dan mendistribusikan produk di Indonesia. Sementara, kerja sama WKD dengan perusahaan manufaktur Indonesia yang lama telah berakhir pada tanggal 4 Februari 2008 yang dikuatkan dengan putusan pengadilan.

Bisnis Manufaktur sudah dijalankan Harry. Sejak tahun 1999. Kini, pabrik Kino telah memiliki sertifikasi CPOTB, menjalankan GMP, serta memiliki sertifikasi ISO 9000 versi. 2008 dari standar ISO SGS.
Untuk Larutan Penyegar Cap KAKI TIGA, Kino telah memiliki sertifikasi halal dari Majelis Ulama Indonesia dan izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan. "Kami akan selalu menjaga Kerahasiaan dan keabsahan formulasi dari Wen Ken Drugs. Perusahaan lain belum tentu bisa memiliki keistimewaan ini " kata Harry.

Etiket merek Cap KAKI TIGA dengan lukisan Badak sepenuhnya. Adalah milik WKD sejak tahun 1973. Keseluruhan etiket merek tersebut mengandung lukisan Badak yang berdiri di atas batu, latar belakang berupa gambara gunung, sungai, dan sawah, serta tulisan LARUTAN PENYEGAR.
Dalam berbagai bahasa yang merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Wen Ken Drugs adalah perusahaan Farmasi pemilik merek Larutan Penyegar Cap KAKI TIGA yang diproduksi sejak tahun 1973. Larutan penyegar Cap KAKI TIGA telah hadir selama 74 tahun dan 30 tahun menemani masyarakat Indonesia, "tutur Direktur Wen Ken Drugs Fu Siang Jeen.

Kino berharap mitra lama WKD melakukan bisnis dengan itikad baik dan bersaing secara sehat' kami juga berharapa perkara hukum atas merek Cap KAKI TIGA dengan lukisan badak bisa segera tuntas agar kami bisa berbisnis dengan nyaman ."Ujar Harry.
Penjualan naik 20% Kino menargetkan pertumbuhan penjualan di 2011 naik 20% dibandingkan tahun lalu dengan nominal penjualan antara Rp 1 triliun - Rp 2 triliun di tahun lalu. Penjualan tak hanya di dukung produk larutan penyegar tapi juga merek consumer goods lainnya seperti Sleek, Absolute, Ovale, dan sebagainya.
Kaki Tiga Masuk Pengadilan Tak banyak yang peduli dengan perkara niaga “kaki tiga” ini. Wajar, karena sebagian besar pengunjung Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat lebih akrab dengan perkara “kaki dua”, perdata atau pidana, yang memang bejibun jumlahnya.
Alkisah “Kaki Tiga” menjadi akrab di telinga tak bisa lepas dari peran PT Sinde Budi Sentosa, sebuah perusahaan farmasi yang berdiri sejak 1978. Melalui produk larutan penyegar dalam botol, perusahaan yang semula bermarkas di Tambun, Jawa Barat itu, pada tahun 1981 langsung menyodok selera konsumen.
Maklum, larutan tersebut tanpa rasa, tanpa warna, tanpa bahan pengawet dan murah. Merek “Kaki Tiga” memang hoki, karena sejak itu PT Sinde Budi Sentosa langsung melakukan pengembangan produk, di antaranya membuat tujuh rasa berbeda dalam kemasan kaleng dan juga dalam bentuk kaleng yang beragam sebagai produk baru, memperluas ragam produk dengan memproduksi versi baru dari Balsem Pala (Bapala) dan sekaligus memperluas distribusinya dengan penambahan gudang seluas 6.000 m2.
Tak cuma itu, pada 1995 PT Sinde Budi Sentosa memperoleh lisensi Sirup Obat Batuk Nin Jiam Pei Pa Koa dari Hong Kong, dan Pil Chi Kit Teck Aun dari Malaysia dan memindahkan kantor pusat ke Wisma SMR di Jakarta Utara. Sementara pada tahun 2002, PT Sinde Budi Sentosa memperkenalkan Ena’O, minuman energi, dan mendiversifikasikannya ke dalam kemasan botol, kaleng dan sachet bubuk dan sachet cair.
Namun, pada Februari 2008 lalu, kehandalan pengelola mengembangkan menjadi perusahaan farmasi ternama tercoreng. Bahkan, sejak Maret 2008, saat sejumlah koran mengumumkan PT Sinde Budi Sentosa bukan pemegang lisensi merek Cap Kaki Tiga. Sang induk pengumuman, Wen Ken Drug Co Pte Ltd, perusahaan yang berkedudukan di Singapura, mengungkapkan bahwa Wen Ken Drug adalah pemilik sah merek dagang “Cap Kaki Tiga”, termasuk produk larutan penyegar Cap Kaki Tiga.

Selain itu, Wen Ken Drug juga mengumuman telah menunjuk PT Tiga Sinar Mestika sebagai kuasa dari Wen Ken Drug terhitung sejak 2 Juni 2008. PT Tiga Sinar Mestika akan membantu Wen Ken Drug mencari calon penerima lisensi merek dagang di Indonesia. Pada hari yang sama, PT Tiga Sinar Mestika juga mengumumkan undangan resmi kepada siapapun (termasuk PT Sinde Budi Sentosa) yang berminat menjadi calon penerima lisensi merek dagang.
Pengumuman Sinde juga memperingatkan Wen Ken Drug “untuk tetap menghormati hukum, dengan tidak mengalihkan lisensi merek ‘Cap Kaki Tiga’ kepada pihak lain sebelum adanya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang mengakhiri lisensi antara Wen Ken Drug dengan Sinde Budi Sentosa.
Kaki Menggugat Tak cukup dengan gertak pengumuman, pada 22 September 2008, PT Tiga Sinar Mestika, selaku substitusi dari perusahaan asal Singapura Wen Ken Drug Co Pte Ltd, menggugat PT Sinde Budi Sentosa, produsen Cap Kaki Tiga, melalui Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Dalam gugatannya, Tiga Sinar Mestika meminta Pengadilan memerintahkan Sinde Budi Sentosa menghentikan produksi, penjualan, pemasaran, dan pendistribusian produk dengan merek Cap Kaki Tiga yang antara lain berupa produk larutan penyegar, balsem, puyer sakit kepala, obat kurap, dan salep kulit.
Penggugat menuntut dua macam ganti rugi materiil. Pertama, kerugian materiil yang terkait dengan pembayaran royalti oleh tergugat kepada penggugat sejumlah 1% dari penjualan tergugat per tahun terhitung sejak 1978. Kedua, kerugian material terkait dengan upaya penghilangan logo Kaki Tiga, sejumlah S$1 juta per tahun, terhitung dari 2000. Nilai S$1 juta ini diklaim setara dengan biaya promosi produk Cap Kaki Tiga.
Penggugat juga menuntut dua macam ganti rugi immateriil. Pertama, immateriil S$100 juta, terkait dengan upaya penghilangan logo Cap Kaki Tiga, yang diklaim dapat membawa akibat buruk bagi nama baik penggugat. Kedua, immateriil S$100 juta, terkait dengan kegiatan produksi, penjualan, pemasaran, dan pendistribusian produk-produk dengan menggunakan merek Cap Kaki Tiga secara tidak sah dan tanpa hak, yang diklaim dapat membawa akibat buruk bagi nama baik penggugat.

Sementara itu, pada sidang yang diketuai Majelis Hakim Panusunan Harahap, di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, 22 September 2008, penggugat menyebutkan pihaknya telah menggunakan merek Cap Kaki Tiga di Singapura sejak 1937, dan merek tersebut diklaim telah terkenal di dunia internasional hingga saat ini.
Perusahaan asal Singapura itu juga mengklaim Sinde Budi Sentosa tidak membayar royalti secara kontinu, tidak menyampaikan laporan produksi dan atau penjualan produk yang menggunakan merek Cap Kaki Tiga, serta menghilangkan gambar atau logo Kaki Tiga dari kemasan produk Cap Kaki Tiga.
Sejak 2000, menurut penggugat, pihaknya berupaya untuk membahas masalah pembuatan suatu perjanjian lisensi. Mengingat perundingan tidak mencapai titik temu, pada Februari 2008 penggugat mengumumkan pemberitahuan di media massa bahwa pihaknya tidak mempunyai hubungan kerja sama lagi dengan tergugat. Ya, kini larutan itu memanas!. simon leo siahaan, yoyok b pracahyo
Lisensi Sejak 1978 Merasa dirugikan, Sinde Budi menggugat balik Wen Ken di Pengadilan Negeri Bekasi. Alasannya, Wen Ken telah menghentikan perjanjian lisensi secara sepihak terhitung 7 Februari 2008 dan berniat mengalihkan lisensi merek Cap Kaki Tiga ke pihak lain.

Dalam gugatan yang didaftarkan pada 28 Oktober 2008 lalu, Sinde Budi menilai pengakhiran itu tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan pembuktian. Bahkan, Sinde Budi menuding perusahaan asal Singapura itu telah melakukan perbuatan melawan hukum (PMH).

Dalam gugatannya, perusahaan itu meminta agar pengadilan menyatakan perikatan lisensi merek Cap Kaki Tiga antara kedua pihak adalah sah dan mengikat menurut hukum, serta menyatakan pengakhiran lisensi yang dilakukan Wen Ken adalah tidak sah dan merupakan perbuatan melawan hukum.

Dalil itu mengacu pada pasal 1338 KUHPerdata, dimana perikatan dapat dibatalkan atas kesepakatan kedua belah pihak. Lalu pasal 1266 KUHPerdata menentukan pembatalan perjanjian secara sepihak harus diajukan ke pengadilan. Sinde Budi menilai penghentian itu merupakan perbuatan melawan hukum.
"Kami juga menuntut Wen Ken membayar ganti rugi yang jumlahnya Rp 800 miliar, sebagai pengganti biaya promosi, kerugian bisnis berupa potential loss, kerugian investasi berupa pabrik, tanah, dll," ujar Andi F Simangunsong, salah satu kuasa hukum Sinde Budi, belum lama ini.

Akibat pembatalan perjanjian itu, Sinde Budi mengklaim mengalami kerugian sebesar Rp200 miliar sebagai komprensasi biaya promosi yang telah dikeluarkan. Dengan pengakhiran sepihak itu promosi produk Cap Kaki Tiga menjadi sia-sia dan tidak bernilai lagi.
Selain itu, Sinde Budi mengalami kerugian bisnis berupa potensi kerugian pendapatan (loss profit) sebesar 5% dari total omset per tahun selama 10 tahun yaitu Rp200 miliar. Termasuk pula kerugian investasi berupa alat produksi, tanah dan bangunan yang berjumlah Rp200 miliar. Kerugian immateriil juga diperhitungkan sebesar Rp200 miliar. Sehingga total seluruh ganti rugi sebesar Rp800 miliar.
Sebelumnya, pada 1976 Direktorat Paten menolak pendaftaran Cap Kaki Tiga lantaran memiliki kemiripan dengan merek Kaki Tiga Roda yang lebih dulu terdaftar. Akhirnya pada 1979 merek Kaki Tiga Roda milik Thee Tek Seng dibeli oleh Sinde Budi yang dibiayai Tjioe Budi Yuwono, salah satu pemegang saham Sinde Budi. Karena itulah bisnis Cap Kaki Tiga bisa berjalan hingga sekarang.

Sinde Budi malah balik menuding Wen Ken yang tidak beritikad baik saat menyusun draft perjanjian lisensi. Sebab meski sudah mencapai kesepakatan pada 29 Januari 2008, sehari kemudian Wen Ken tidak mau menandatangani perjanjian tersebut. Namun demikian, Sinde Budi masih mau bernegosiasi meskipun akhirnya tidak tercapai kesepakatan.
Soal pembayaran royalti, Sinde Budi menyatakan sudah melaksanakannya dalam pembayaran sekaligus (lump sum) tanpa memperhitungkan jumlah yang akan diproduksi. Beberapa tahun terakhir disepakati pembayaran royalti sebesar S$660 ribu per tahun. Jumlah royalti yang dibayarkan sejak 1978 hingga 30 April 2008 mencapai S$4,962 juta. Sementara soal pelaporan hasil produksi dan penjualan, Sinde Budi tidak wajib dilaporkan pada Wen Ken. simon, yoyok






















KESIMPULAN
Sistem HaKI merupakan hak privat (private rights). Seseorang bebas untuk mengajukan permohonan atau mendaftarkan karya intelektualnya atau tidak. Hak eklusif yang diberikan negara kepada individu pelaku HaKI (inventor, pencipta, pendesain dan sebagainya) tiada lain dimaksudkan sebagai penghargaan atas hasil karya (kreativitas) dan agar orang lain terangsang untuk dapat lebih lanjut mengembangkannya lagi, sehingga dengan sistem HKI tersebut kepentingan masyarakat ditentukan melalui mekanisme pasar.
Disamping itu sistem HKI menunjang diadakannya sistem dokumentasi yang baik atas segala bentuk kreativitas manusia sehingga kemungkinan dihasilkannya teknologi atau karya lainnya yang sama dapat dihindari atau dicegah. Dengan dukungan dokumentasi yang baik tersebut, diharapkan masyarakat dapat memanfaatkannya dengan maksimal untuk keperluan hidupnya atau mengembangkannya lebih lanjut untuk memberikan nilai tambah yang lebih tinggi lagi.
Dalam contoh kasus yang kami ambil adanya kesamaan dalam penberian nama produk, karena tidak memahami apa itu HAKI, dengan melanggar hak paten/ privasi maka akan dapan di pidana kan, jalan keluar untuk penyelesaian jika terjadi hal tersebut adalah dengan mengganti nama dan membayar royalti kepada perusahaan pertama yang menggunakan nama tersebut.













DAFTAR PUSTAKA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Cute Hello Kitty Kaoani